Fenomena Gunung Es Cyberbullying, Hardjuno Wiwoho: Efektifkan Peran Satgas Anti Cyberbullying

Sedang Trending 3 minggu yang lalu
ARTICLE AD BOX

JAKARTA, Koranmadura.com – Tren kasus Cyberbullying alias perundungan melalui media siber di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya.

Oleh lantaran itu, perlindungan norma terhadap korban Cyberbullying menjadi sangat krusial untuk memitigasi agar dampaknya tidak meluas.

Salah satu langkah nan diusulkan adalah dengan meningkatkan efektivitas peran Satgas Anti Cyberbullying.

Founder sekaligus Ketua Yayasan Syariah, Hardjuno Wiwoho (SHW Center), Shri Hardjuno Wiwoho, mengatakan info UNICEF 2020 menemukan bahwa 45 persen anak berumur 14-24 tahun di seluruh bumi telah mengalami perundungan berbasis cyber sepanjang 2020.

Data tersebut mirip dengan info dari Center for Digital Society (CfDS) per Agustus 2021 nan meneliti siswa SMP dan SMA usia 13-18 di 34 provinsi di Indonesia dengan hasil riset bahwa 45,35% mengaku pernah menjadi korban. Adapun 38,41% lainnya menjadi pelaku.

Platform nan sering digunakan untuk kasus Cyberbullying antara lain WhatsApp, Instagram, dan Facebook.

“Sehingga memang Cyberbullying ini kejadian nan meresahkan. Cyberbullying lebih seram dari bullying biasa lantaran bisa 24 jam dibully,” ujar Hardjuno.

Pria nan juga staf mahir Dewan Perwakilan Daerah (DPD) itu melanjutkan, “Kapan saja, di mana saja, siapa saja, melalui medsos itu bisa di-bully dan bisa mem-bully juga. Mental generasi muda rusak gara-gara budaya Cyberbullying.”

Padahal, Indonesia bakal memasuki masa puncak bingkisan demografi pada 2030 kelak di mana 68 persen masyarakat adalah masyarakat berumur produktif.

Dengan penetrasi media sosial nan begitu masif tetapi perilaku Cyberbullying nan begitu tinggi, bingkisan demografi bisa berubah menjadi musibah demografi.

Sebab generasi usia produktifnya lahir dari ekosistem Cyberbullying nan membungkam seluruh potensi nan dimiliki.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) telah mendorong sekolah untuk membentuk Satgas Anti Bullying nan di dalamnya termasuk Cyberbullying.

Namun demikian, kata Hardjuno, tugas, peran, dan peraturan sistem Satgas ini perlu diformulasikan lebih tegas dan jelas untuk memberikan kepastian norma dalam penyelenggaraan tindakan guna melindungi korban khususnya korban perundungan siber.

“Maksud saya, selain bullying konvensional, Satgas di sekolah ini juga memberi perhatian penuh pada Cyberbullying. Gangguan mental itu ancaman nyata.”

Dia melanjutkan, “Dan idealnya, Satgas Anti Cyberbullying ini terdiri dari beragam elemen, mulai dari unsur perwakilan guru, siswa, dan orang tua.”

Urgensi Kebijakan Non Penal

Pada bagian lain Hardjuno Wiwoho menjelaskan bahwa perundungan siber sebagai salah satu jenis kejahatan di bumi maya merupakan problematika di bagian hukum, pendidikan, dan ilmu jiwa perkembangan.

Riset nan dilakukan Hardjuno terkait Cyberbullying menunjukkan pentingnya kebijakan non-penal (kebijakan di luar norma pidana nan kuncinya adalah pencegahan dan pembaharuan pandangan masyarakat) sebagai upaya menanggulangi Cyberbullying.

“Riset nan saya kerjakan merupakan riset yuridis-normatif melalui pendekatan konseptual dan peraturan perundang-undangan,” jelas Hardjuno.

Sehingga menurut Hardjuno Satgas Anti Cyberbullying sebagai kebijakan baru non-penal di bawah naungan KPAI perlu makin diefektifkan dan secara integral juga melibatkan sarana penal.

“Sehingga Satgas Anti Cyberbullying di sekolah betul-betul dibekali keahlian non-penal dan menggunakan sarana pidana sebagai upaya terakhir,” imbuhnya.

“Keduanya secara bersama-sama, tidak terpisah, pemahamannya musti dimiliki oleh Satgas di sekolah,” pungkas Hardjuno. (Gema)

Selengkapnya
Sumber Koranmadura
Koranmadura