ARTICLE AD BOX
Suara.com - Aksi boikot produk-produk nan diduga pro Israel di Indonesia dikhawatirkan berakibat pada PHK lantaran penurunan produksi dan penjualan produk.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey berpendapat, jika produsen alias pemasok terus tergerus akibat boikot, investasi dapat terhenti dan pertumbuhan pasti tidak bakal terjadi. Menurutnya, PHK menjadi pilihan nan kudu dihadapi jika situasi terus memburuk.
Aksi boikot nan terus dilakukan dalam jangka panjang, dikhawatirkan berakibat langsung pada produktivitas dan penjualan.
Jika produk tidak laku di pasaran lantaran tindakan boikot, perusahaan ritel pun tidak bakal membeli dari produsen, nan kemudian bakal mengurangi produksi.
Penurunan produktivitas juga membikin pengusaha bimbang mengeluarkan bayaran lantaran pertumbuhan tenaga kerja biasanya mencapai 2-3 persen setiap tahunnya.
![Suarajatimpost.com]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2021/05/20/83781-aksi-baikot-produk-israel-amerika-di-pamekasan-madura.jpg)
Roy memproyeksikan bahwa tindakan boikot terhadap produk terafiliasi Israel berpotensi menurunkan shopping masyarakat hingga 4 persen. Sehingga, dia berambisi agar pemerintah dapat memastikan kesiapan kebutuhan pokok masyarakat dan menjaga keberlanjutan upaya serta kepastian norma berbareng pelaku usaha.
Tanggapan Bank Indonesia
Bank Indonesia, melalui Kepala Kantor Perwakilan Wilayah BI NTB, Berry A Harahap pada awal pekan ini memperkirakan, tindakan boikot Israel tidak bakal berjalan lama.
"Meskipun terdapat pengaruh dalam jangka pendek, seperti nan kita lihat pada periode-periode sebelumnya, situasi ini biasanya bakal kembali ke kondisi normal. Walaupun mungkin memerlukan waktu, ini merupakan tantangan bagi bumi usaha," kata dia.
Berry menyoroti tingginya sentimen terhadap Israel di Indonesia saat ini, namun dia meyakini sentimen tersebut bakal mereda seiring berakhirnya bentrok antara Israel dan Palestina. Meskipun memerlukan waktu beberapa bulan, diharapkan kunjungan konsumen ke restoran sigap saji seperti McDonald's bakal pulih.
Gerakan Boycott, Divestment, Sanction (BDS) Produk Israel
Di tengah kondisi nan memilukan di Gaza, Palestina. Sejak tahun 2005 sudah ada support masyarakat bumi melalui aktivitas oycott, Divestment, Sanction (BDS).
Gerakan nan ditandai tagar #BDSMovement di media sosial ini berisi orang-orang nan menyebut merek-merek nan mempunyai hubungan dengan Israel seperti McDonald's, Starbucks, Disney, Domino's Pizza hingga Burger King.
Gerakan BDS (Boycott, Divestment, Sanctions) terinspirasi dari aktivitas anti-apartheid di Afrika Selatan. Sementara Israel disoroti lantaran dianggap sebagai rezim kolonialisme, apartheid, dan penindasan terhadap penduduk Palestina. Menurut BDS, situasi di Gaza disebabkan bungkamnya bumi atas perbuatan Israel.
BDS menilai bahwa Israel terlibat dalam diskriminasi, pendudukan, dan kolonialisme terhadap penduduk Palestina, termasuk penolakan kewenangan pengungsi untuk kembali ke rumah mereka.
Prinsip utama BDS adalah penduduk Palestina mempunyai kewenangan nan sama dengan umat manusia lainnya. Gerakan ini melibatkan serikat pekerja, asosiasi akademis, religi, dan aktivitas akar rumput di seluruh dunia.

Meski menunjukkan aktivitas positif, BDS juga tidak lolos dari kritik, menurut The Guardian, tindakan ini turut berakibat pada anjloknya ekonomi Palestina pada kisaran 2017-2018 lantaran ketergantungan negara itu terhadap Israel. Bahkan, ada nan menuduh BDS sebagai golongan anti semit, meski perihal ini tidak pernah terbukti.
BDS juga sudah acapkali mencoba dihentikan pemerintah Israel dan AS dan menyematkan aktivitas ini sebagai tindakan terorisme.
Meski dengan menurut laporan Vox, tindakan BDS membikin produk domestik bruto (PDB) Israel rugi US$15 miliar, menurut Rand Corporation. Meski begitu, laporan ini adalah bagian mini dari PDB ISrael nan lebih dari US$500 miliar,.
Sementara, Al Jazeera dalam laporannya pada 2018 lampau mengatakan, aktivitas BDS berpotensi membikin Israel kehilangan duit hingga US$11,5 miliar per tahun.
Pernyataan itu diperkuat dengan laporan pemerintah Israel pada 2013 nan telah disunting dengan keterangan bahwa boikot tersebut berjalan dalam jangka waktu bertahun-tahun secara ekstrem.
Sedangkan riset dari Brooking Institution menulis, tindakan boikot Israel tidak begitu berakibat pada ekonomi negara Yahudi itu lantaran sektor utama Israel nan berasal dari sektor peralatan pengolah alias pendukung nan tidak tergantikan, seperti semikonduktor.
Namun, info dari Bank Dunia justru menunjukkan ekspor Israel mengalami penurunan pada rentang tahun 2014 hingga 2016, diduga kuat lantaran tekanan politik nan berasal dari BDS.
Total kerugian nan diderita Israel kala itu mencapai US$6 miliar. Di saat nan sama, investasi di Israel menurun hingga 50% di nomor US$6 miliar setelah militer Israel menyerang Gaza nan menewaskan 1.462 penduduk sipil.
Sayangnya, meskipun dengan beragam support tindakan boikot pendukung Israel. Langkah ini belum berakibat banyak terhadap agresi militer Israel di wilayah Palestina. Hal ini ditunjukkan dengan tetap tingginya serangan nan dilancarkan Israel, tidak hanya tahun ini tapi juga pada tahun-tahun sebelumnya.
Berdalih menyerang Hamas, Israel justru secara terbuka membunuh ribuan nyawa penduduk sipil tak bersalah.